Ada 5 orang termasuk aku yang pertama kali bergabung menjadi satu hingga terbentuklah CV. WIN. Adalah Pak Damar, orang yang paling berperan di perusahaan itu, karena beliaulah yang menjadi pemegang modal dari segala sesuatunya.
Beliau seorang Sarjana Ekonomi. Karena keakraban kami, maka kamipun memanggil beliau dengan sebutan Babe, sebutan khas orang Betawi. Karena lingkungan kami merupakan transisi antara Sunda dengan Betawi.
4 orang yang lain bertugas untuk mengembangkan SDM, baik SDM masing-masing maupun dalam hal rekrutmen dan pengembangannya. Maka kami berempatpun bersaing untuk merekrut anak buah yang sebanyak-banyaknya, dan mengembangkan hingga menjadi sebuah tim yang integral dan solid.
Dalam empat bulan saja, yang semula hanya berjumlah empat orang sudah menjadi lebih dari lima puluh orang. Dan timku menjadi tim yang paling solid dengan jumlah yang terbanyak.
Semua itu tak lepas dari kerja kerasku untuk mengembangkan mereka, mendidik mereka dan memotivasi mereka. Mereka memang tim yang kuat dan bermotivasi tinggi. Mereka semua sangat respek terhadapku.
Itu semua karena aku hampir dikatakan sempurna dalam hal pembinaan dan approachmen. Aku selalu menghadapi mereka dengan sabar, meski sifat mereka tak sama. Aku menerapkan pendekatan yang berbeda-beda dari yang satu dengan yang lainnya.
Aku selalu memuji mereka yang berprestasi, dan membangun semangat bagi mereka yang sedang down. Aku selalu sempatkan waktu sekitar 2 sampai 5 menit kepada masing masing individu untuk berbicara mengenai keluhan-keluhan mereka, kendala-kendala di lapangan, dan rencana-rencana mereka ke depan, sehingga mereka merasa benar-benar menjadi bagian yang penting dalam tim.
Paling tidak aku menyapa mereka sekilas dengan mengucapkan selamat pagi penuh semangat, memuji penampilan mereka, atau hanya sekedar mengatakan,
“Dasi kamu bagus”
Aku juga sangat antusias dengan mereka, karena sebagian besarnya adalah wanita. Dan bukan rahasia lagi jika cewek sunda terkenal dengan postur tubuh yang tak terkalahkan. Mereka rata rata berbadan segar dengan payudara yang sekal dan menantang.
Kulit mereka juga sangat bersih. Itu adalah keuntungan tersendiri bagiku karena pasti suatu saat nanti mereka (bahkan semuanya) bisa aku kencani satu persatu.Dengan pendekatan setahap demi setahap salah satu diantara mereka, Laras, akan bisa aku nikmati tubuhnya.
Cerita ini bermula ketika suatu hari aku tidak terjun ke lapangan karena badanku terasa tidak enak. Tapi karena aku harus memotivasi mereka, paginya aku sempatkan untuk ke kantor. Dan begitu mereka berangkat ke lapangan aku pulang ke kost untuk istirahat.
Namun paginya dikantor, Laras sempat curiga dengan kesehatanku dan bertanya,
“Mas kenapa, sedang sakit ya?”
“Iya, Ras. Aku lagi nggak enak badan. Kayaknya aku nggak berangkat hari ini”
“Ya udah, entar habis meeting Mas pulang aja. Mas sudah makan?” tanya Laras penuh perhatian. Dia memang orangnya sangat perhatian.
“Udah sih, tapi cuman dikit. Nggak selera”
Dengan penuh kelembutan Laras meraba dahiku. Tangannya lembut dan wangi. Kalau aku diraba agak lama mungkin aku langsung sembuh, pikirku.
Pukul sembilan pagi semua karyawan sudah menyebar ke lapangan. Sementara aku masuk dan beristirahat di ruang rapat. Babe masuk dan bertanya,
“Kenapa Yan, sakit?”
“Iya, Be,” jawabku singkat.
“Ya udah, tiduran aja situ,” kata Babe ramah.
“Nggak ah, Be. Aku mau pulang aja. Ntar sore balik lagi”
“Terserah deh”
Aku bergegas pulang ke kost. Kostku memang hanya berjarak tiga ratus meter dari kantor. Semua biaya kostku ditanggung oleh Babe. Ruangnya nyaman, besar dan bersih. Penjaganya yang bernama Pak Min itu juga ramah. Menurut Pak Min sebenarnya kamar itu khusus untuk tamu dan tidak disewakan, tapi entah mengapa aku diperkenankan menyewa kamar itu.
Di kamar itu terdapat lukisan panorama yang sangan besar dan indah. Asli pula dan bukan reproduksi. Kata Pak Min posisi kamar itu boleh diubah sesuka penghuninya. Asal jangan kaget jika ada sensasi baru setelah itu. Apalagi dengan lukisan itu. Tapi aku menganggap itu hanya gurauan Pak Min dan aku tidak menanggapinya dengan serius.
Sebenarnya di kost itu tidak boleh membawa teman lawan jenis ke kamar, tapi sepertinya Pak Min, si penjaga itu tahu apa yang dibutuhkan penghuni kost, jadi peraturan itu diabaikan. Sehingga kamar sebelahku sering dipakai pesta seks oleh penghuninya. Aku pernah ikut sekali.
Sesampainya di depan kamar kost aku kaget karena Laras ternyata sudah berada di depan kamar kostku sedang membaca majalah kesukaannya.
“Lho Ras, kok kamu disini. Lagi ngapain?” tanyaku singkat.
“Lagi nungguin Mas Iyan. Kenapa, nggak boleh?” tanya Laras manja.
“Ya boleh sih, tapi kok tadi nggak ngomong dulu”
“Mau ngasih kejutan, biar Mas Iyan sembuh”
“Ah, bisa aja kamu,” sahutku sambil mencubit dagunya yang mungil itu.
Setelah membuka pintu kamar aku mempersilakan Laras masuk. Dengan tanpa canggung Laras masuk ke kamarku dan melihat sekeliling,
“Kok posisi kamarnya nggak diubah sih Mas. Emang nggak bosen gini-gini aja. Ubah dong biar ada perubahan. Biar selalu baru, jadi Mas nggak sakit-sakitan”
“Biarin, sakit kan karena penyakit. Bukan karena kamar. Eh ngomong-ngomong, sorry lho kamarku berantakan”
“Ah cowok mah, biasa,” sahut Laras dengan sedikit logat sunda.
Setelah itu tangan mungil Laras memunguti benda-benda yang berantakan itu dan menatanya dengan rapi di tempatnya masing masing. Sementara aku pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian.
Begitu masuk kamar, kamarku sudah kembali bersih dan rapi oleh tangan Laras. Aku lihat Laras sedang sibuk memencet-mencet tombol remote untuk mencari acara tv. Hari itu Laras mengenakan baju tipis putih dengan celana hitam panjang.
Sangat terlihat profesional dia dengan pakaian itu. Juga seksi. Sambil tiduran Laras terlihat sangat menggoda. Payudaranya sangat terlihat mulus dengan bra yang tidak seukuran. Terlihat sekali bra itu tak sanggup memuat isi dari dada Laras.
Aku menelan ludah. Tiba tiba suhu badanku naik. Aku tahu ini bukan karena aku sakit, tapi lebih karena libidoku pasti sedang on. Si kecil juga ikut-ikutan bangun. Sialan. Aku menggerutu karena ketika si kecil bangun dengan posisi yang salah.
Menghadap ke bawah. Sehingga bulu-bulunya yang semula sempat menempel jadi tertarik dan menimbulkan rasa sakit. Aku merogohnya dan menempatkannya dengan benar. Tentu ini tak sepengetahuan Laras. Malu aku.
“Mas punya CD lagu yang bagus, nggak?” tanya Laras mengagetkanku.
“Cari aja disitu, pilih sendiri. Ada lagu, ada film. Eh, aku kemarin sewa film bagus tapi belum sempat nonton. Tuh, yang bungkusnya dari rental”
“Film apa sih ini mas?”
“Action, tapi katanya sih, ada ML nya”
“HiIIi. Coba ah, penasaran”
Sementara Laras memasukkan keping VCD, aku memperhatikan pinggangnya yang sedikit terbuka ketika dia sedikit menungging. Putih, mulus. Aku jadi teringat Dewi pemeran VCD Itenas yang heboh itu. Sementara aku duduk mengambil posisi bersandar di tembok dekat tempat duduk Laras sebelumnya.
Aku berharap setelah selesai memasukkan keping VCD, Laras kembali ke tempat duduk semula, jadi aku berada disampingnya persis. Dan benar, kini Laras berada disampingku dengan posisi bersila, sementara kakiku aku selonjorkan. Kini kaki kiri Laras yang dilipat menumpang di kakiku.
Film pun dimulai. Aku juga bersiap untuk memulai film panas siaran langsung tanpa penonton dan kamera. Aku mulai merangkul Laras. Mengelus rambutnya yang hitam itu, sambil sesekali membahas cerita film itu.
Padahal sebenarnya aku tidak begitu memperhatikan alur cerita film itu. Aku hanya menjawab ya dan tidak atau tersenyum menanggapi Laras yang terlihat serius. Lalu badan Laras mulai bersandar di badanku. Akupun dengan mudah menciumi rambutnya, telinganya juga tengkuknya.
Sementara tanganku yang sedari tadi bermain di daerah atas, kini mulai merosot. Menyentuh dada Laras, meremasnya hingga Laraspun tak lagi memperhatikan film itu dan menikmati sentuhanku. Kini kami menjadi pemeran utama sebuah film panas. Apalagi ketika alur film itu tiba pada kisah make love, sesekali kami melihatnya sebagai pemanas.
Wajah Laras yang semula menghadap tivi kini mulai tengadah menghadapku. Bibir kamipun beradu. Laras terlihat sangat antusias. Napasnya sangat wangi menggairahkan. Aku yakin Laras mempersiapkan hal ini dengan makan permen wangi sebelumnya.
Dia menjilati mukaku dengan buas. Sementara tanganku sibuk bergerilya mencoba melepas pakaian Laras. Tanganku yang berada di dalam baju Laras berhasil membuka pengait bra-nya. Gumpalan daging sekal itu kini longgar tanpa pembungkus.
Sementara bibirnya sibuk menjilatiku, tangannya mulai menuju pakaianku. Akupun dilucutinya. Sekarang aku tak berbaju lagi. Bibir Laraspun mulai bergerilya turun. Menjilati dadaku dan mengulum susuku. Badanku makin panas. Libidoku makin naik. Leher, perut, telinga, dan dadaku menjadi sasaran bibir Laras. Aku menikmatinya sambil terus memainkan payudaranya yang semakin menghangat.
Semakin lama Laras semakin mengganas, dilepaskannya celanaku luar dan dalam. Bibirnya yang kini sudah tak berlipstik itu terus menjamah semua sektor tubuhku. Lidahnya menjilat-jilat bulu kemaluanku. Juga buah zakarku. Aku sesekali menggelinjang menahan jilatannya. Apalagi ketika kemaluanku masuk kedalam mulutnya. Ah, hangat rasanya.
Laras berubah posisi. Yang semula berada tepat di depanku, kini beralih disampingku, sambil tetap menghisap kemaluanku. Perubahan posisinya bukan tanpa alasan. Ternyata Laras mengulum penisku dengan posisi dari samping sehingga lidahnya mengenai permukaan penisku bagian atas. Posisi ini sungguh sangat nikmat. Baru kali ini merasakan hisapan dan jilatan yang sangat hebat. Luar biasa.
Sementara itu tanganku terus mengelus tubuh Laras. Payudaranya yang kenyal selalu menjadi favorit tanganku. Juga pantatnya yang bulat mulus. Sungguh menggairahkan. Tapi ketika jemariku kutuntun untuk menuju liang vaginanya, Laras menolak. Akupun menurut saja. Aku tidak mau memaksakan kehendakku.
Sekitar 10 menitan Laras bermain dengan posisi itu. Selanjutnya penisku dikeluarkannya dari mulut. Lidahnya yang terus mengganas itu menjalar keseluruh permukaan badanku bagian depan. Naik, naik, dan terus naik. Kini bibir kami kembali beradu.
Kini posisi Laras tepat mendudukiku. Lalu perlahan-lahan Laras membimbing penisku untuk masuk kedalam liang vaginanya. Dan, bless.. hangat, nikmat.
Laras meringis menahan rasa. Entah apa yang ia rasakan. Setelah berkonsentrasi dengan penisku, kini Laras mulai memompa dengan posisi naik turun. Aku masih pada posisi duduk.
Laras yang duduk dihadapanku terus naik turun hingga payudaranya terayun-ayun. Akupun tertarik dengan payudara itu. Kupegang, kuremas, kutekan lalu aku menundukkan kepalaku hingga bibirku mengenai payudara Laras. Dalam kesulitan karena posisinya yang terayun-ayun aku mengisap payudara Laras.
Laraspun meraung-raung tak karuan.
“Ya Mas, terus Mas. Hisap terus, Mas”
“Augh, augh.. Mas aku mau keluar, augh, augh.. Ahh!!
Laras mengejang. Mukanya memerah. Lalu kami membalikkan tubuh kami. Untuk sementara kami juga melepaskan perabot kami yang tertancap. Akupun mulai bekerja. Kubimbing Laras untuk berjongkok. Akupun menyetubuhinya lagi dengan posisi dari belakang.
Bless.. Kemaluanku masuk lagi ke liang vaginanya. Dengan posisi doggystyle aku memompa pantat Laras berkali-kali hingga aku merasakan ada dorongan yang sangat kuat, hingga frekuensi doronganku semakin cepat. Aku meracau tak karuan.
Laras tahu itu. Sebelum spermaku muncrat, dilepaskanlah pantatnya. Sekejap Laras sudah berbalik posisi. Tangannya langsung menangkap kemaluanku. Dibantu mulutnya, dikocoklah penisku sejadi-jadinya dan..
“Auuuggghhh..”
Sperma hangat muncrat ke mulut Laras. Tanpa ragu dikulumlah penisku. Rasanya tidak karuan. Spermakupun habis ditelan Laras. Lalu kami berduapun roboh tak berdaya.
Aku mencium Laras penuh kasih dan dengan senyum kepuasan. Wajahnya yang penuh keringat tetap manis dengan senyuman itu.