Singkatnya, dari pembicaraan ringan selama membantu ganti ban tersebut, kuketahui bahwa dia seorang yg sdh berkeluarga, berumur 34 tahun, keturunan Chinese, dan (untuk bentuk fisik, aku sdh ada pengalaman dari kejadian sebelumnya), tinggi kira-kira 160 cm, seperti kebanyakan Chinese berkulit kuning, mata (nah ini dia) tdk terlalu sipit (mirip mata di film kartun Jepang), rambut hitam sebahu, ukuran dada 34B.
Karena berbincang-bincang, tdk terasa ban serep sdh terpasang. Dan dia memperkenalkan diri bahwa namanya Fara (seperti nama cowok?), dan ketika dia menyodorkan uang dua lembar puluhan ribu sebagai tanda terima kasih, dgn halus aku menolaknya,
“Begini saja Mbak, bagaimana kalau lain waktu aku boleh main ke rumah, kebetulan aku tdk ada saudara di kota ini.”
Aku mulai mengeluarkan jurus perkenalan yg berkelanjutan (seperti film silat saja).
“Oh tentu saja… ini alamatku,” sambil menyodorkan kartu nama lengkap dgn nomor HP-nya.
“Tp jangan minggu ini, karena aku akan berpergian ke Jakarta, menengok saudara,” lanjutnya lagi.
“Oh kebetulan aku juga dari kota Jakarta, dan di sini aku kuliah… mungkin kalau ke sana bisa main Mbak.”
“Tentu saja… eh terima kasih lho Dik, jarang lho yg mau nolong dan tdk mau terima uang… maaf ya..” sambungnya sambil nyelonong masuk mobil.
“Sakti… panggil saja aku Sakti”.
2 minggu kemudian, setelah selama ini berjalan apa adanya, aku memberanikan diri telepon ke HP-nya.
“Mbak Fara… ini Sakti… masih ingat kan?”
“Sakti… sebentar… yg mana ya… oh iya yg bantu aku betulin ban itu ya, dimana nih, kok kode areanya bukan di sini?”
“Oh… kebetulan aku sedang di kota M, main-main saja kok, nanti sore pulang, besok boleh main ke sana nggak?”
“Lho kenapa tunggu besok? Perjalanan ke sini kan nggak sampai 3 jam, langsung mampir aja ke rumah Mbak, pasti capek kan. Nah kita bisa makan malam sama-sama, kebetulan ada suami Mbak di sini, sekalian kenal, gitu lho.”
“Ok deh, kalau sempat aku ke sana.”
Empat jam kemudian, setelah mampir dulu ke tempat kos, mandi, dan berpakaian agak rapi, aku berangkat ke rumah Mbak Fara.
“Lho kok rapi amat, kenapa nggak mandi di sini saja, atau bisa langsung renang sekalian membersihkan badan,” jawab Mbak Fara setelah aku tiba di pintu rumahnya, sekilas tampak sebuah rumah yg cukup besar dgn halaman yg lebih luas dari rumahnya, kolam renang ada di sebelah kanan.
“Nah ini Om Candra, suami Mbak… untung Om ada di S, biasanya ada di Jakarta, dua minggu sekali datang ke sini, dan besok sdh pergi ke Jakarta lagi.” Acara perkenalan dan makan malam ini berlangsung hingga jam 10 malam dan dilanjutkan dgn acara santai.
Mbak Fara mengajak renang. Sepertinya Mbak Fara biasa renang karena dari bodinya yg aduhai.
“Wah aku nggak bawa celana renang Mbak.”
“Lho buat apa pakai celana renang, ini kan di rumah, siapa yg mau lihat… kita mau jungkir balik di kolam ini, juga nggak ada siapa-siapa, kecuali Om.”
Memang benar sih, rumah sebesar ini tdk ada siapa-siapa, pembantu pun datangnya hanya pagi hingga sore, setelah itu pulang. Belum sempat aku melihat suasana, tiba-tiba Mbak Fara sdh nyebur ke kolam, sementara Om Candra asyik dgn Play Station di ruang tengah.
“Ayo nyebur aja! Mbak sdh kedinginan nih…” Karena sdh pengalaman dgn wanita, maka aku langsung nyebur saja, dgn sebelumnya menanggalkan semua bajuku.
Benar saja, kolam renang di malam hari ini sangat dingin, dan aku cukup menggigil. Untung saja aku pandai renang (dulu sejak kecil aku ikut klub renang, dan semua gaya aku kuasai). Sedang asyik-asyiknya mengapung, Mbak Fara menyelam dan menyilang di bawahku, semilir gerakan air akibat reflek Mbak Fara membuat tubuhku bergetar.
“Dik, burungmu bagus juga… sayang kedinginan tuh..” Sialan, aku lupa ketika dia lewat di bawahku, tentu saja semua tampak nyata baginya, justru aku yg belum memperhatikan Mbak Fara.
“Nggak usah malu… dari awal aku punya firasat kalau Dik Wibawa sdh pengalaman dgn wanita dan boleh dong sekarang kita main di kolam ini,” sambil bercanda memercikkan air kolam.
“Om Candra gimana?”
“Oh dia itu orangnya ‘free life style’, dan Mbak Fara ini istri keduanya.”
Akhirnya gantian aku yg menyelam dan menyerempet ke tubuh Mbak Fara. Ternyata Mbak Fara sangat seksi, baru kali ini aku melihat wanita Chinese telanjang, dan bulunya tdk terlalu lebat, sepertinya rajin merawat dan mencukur. Tanpa dikomando, masih di kolam renang, kami saling merapatkan diri dan mulai mencumbu Mbak Fara. Ternyata Mbak Fara termasuk penikmat seks sejati. Lebih hebat dari wanita yg dulu pernah main dgnku.
Bisa pembaca bayangkan, kami saling berguling-guling di kolam renang, kadang aku di atas, kadang Mbak Fara di atas. Karena suasana semakin hot, maka kami naik dan rebahan di pinggir kolam. Batang penisku segera dikulumnya. Sangat dahsyat,
“Aaagghhhh.. Mbak… teerruuussss Mbak..” Karena aku tdk ingin ketinggalan moment, kami mengambil posisi 69, dan segera kulumat habis lubang meqi Mbak Fara.
Baru kali ini aku merasakan kemaluan cewek Chinese, dan kemaluan Mbak Fara cepat banjir, tdk seperti cewek Indonesia.
“Dik… masukin dong.. mmmpphhhhhh… ayo Dik masukin… aku sdh mau keluar nih… Aaaggghhhh…”
Batang penisku sdh tegak berdiri dan kuarahkan ke lubang meqi Mbak Fara. Wow, lubang meqi cewek Chinese sangat sempit dan batang penisku terjepit rapat, suatu perasaan yg sensasional kurasakan tdk karuan. Padahal aku belum memompa dgn sekuat tenaga.
“Mbak… gimana rasanya… mmmhhh…” desahku menahan nafas (dan mengatur posisi).
“Ohkkhh… Dik, baru kali ini aku main dgn pria pribumi… ohkkk pelan-pelan…” ucapnya terputus-putus.
“Oh yes, yes… terus Dik.. yes terusss kkhh… Ohh.. ohh.. ohh…” suaranya makin meninggi (beda dgn wanita yg pernah kuhadapi).
“Mmpphhhhh ooohhhh… uuuhhh push.. push… Dik.. terus yg keras Dik… terus… lebih dalam… ouuugghhh…”
Mbak Fara melengking, menandakan dia orgasme. Dan…
“Oooogghhhhh…” reflek aku memuncratkan air maniku, sekali lagi kemaluan cewek Chinese terasa lebih sempit dan sangat basah, sehingga menimbulkan gelora yg luar biasa.
“Dik, pernah main di dalam air nggak…” Belum selesai bicara aku sdh ditarik ke kolam renang.
Pembaca bisa membayangkan, sambil mengapung, kami saling tarik dorong, menggoyangkan pinggul. Meskipun sdh klimaks, tdk perlu menunggu waktu lama, burungku sdh tegang, dan yg kali ini lebih tegang lagi. Meskipun di air, kemaluan Mbak Fara masih terasa basah dan hangat, semilir air yg bergerak menambah nafsu kami berdua dan gerakan kami saat ini lebih lambat dan terkontrol.
Gerakan air seirama dgn gerakan batang penisku yg maju-mundur kelubang meqi Mbak Fara. Teriakannya kini lebih teratur. Mbak Fara menikmati permainan yg kedua. Tdk sampai 15 menit kami sdh lemas menyambut datangnya orgasme yg kedua, dan air maniku bercampur dgn air kolam.