Kamis, 03 Agustus 2017

Ngesex Dengan Pacar Saat Di Rumah Sakit

Tintin memandang wajah kekasihnya yang terlelap di ranjang. Hatinya hancur. Bukankah lelaki ini telah menjadi penopang dalam setiap pergumulan hidupnya? Betapa dulu Agus yang menyelamatkannya dari kekacauan semasa SMA, yang mendorongnya untuk terus kuliah, yang memberi semangat hidup dan harapan serta impian?

Kini, Tintin sudah tingkat III, sudah menjadi leader besar di sebuah MLM ternama, sudah berubah dari seorang gadis yang nampak udik menjadi cantik jelita — keluar semua pesona keindahannya, melebihi foto model yang di majalah. Tetapi Agus, dia terbaring. Terdiagnosa leukimia akut. Dia yang telah mengubah itik menjadi angsa cantik, nampak pucat. Dadanya turun naik, seperti masih menyimpan sisa-sisa tenaga. Kata dokter, waktunya tidak lebih dari 3 bulan lagi.


Harusnya, Tintin pergi saja. Agus bahkan sudah memintanya untuk putus, walaupun ia mau terus membawa cinta sampai mati. Agus tidak mau Tintin bercinta dengan orang yang mau mati! Hati Tintin terluka. Ia sudah terlalu dalam mencintai Agus, dan kini ia mengalirkan air mata, karena orang yang dicintainya…akan mati. Hilang, lenyap dalam masa muda. Baru 22 tahun. Tintin baru 20 tahun. Tetapi harus terpisah selamanya. Hidup ini kejam!

“Entin?” Agus berbisik. Ia membuka matanya, agak menyipit karena hari sudah siang, sudah menunjukkan jam 11 lewat.

“Gus… baru bangun?”
“He eh… wah, gue tidur kayak bayi ya?”
“Rasanya sakit, Gus?”
“Nggak sih… cuman ngga bisa tidur. Gue…”

Tintin tidak bisa menahan dirinya lagi. Dari duduk di tepi ranjang, ia terus memeluk Agus. Ia menangis.

“Gus… aku kangen sama kamu. Aku cinta kamu Gus…”
“Entin…”

Titin tidak membiarkan Agus berbicara. Ia melingkarkan tangannya di leher Agus. Mencium bibirnya. Tintin memberikan bibirnya, lidahnya yang merah dan lancip membasahi bibir Agus. Menghangatkannya. Lidah mereka saling berpautan, melingkar, mengusap. Merasakan bagian yang paling intim.

Saat itu, Tintin tidak menahan dirinya lagi. Selama ini, ia yang paling keras menjaga hubungan pacaran mereka, karena ingat pesan mendiang ibunya untuk menjaga kesucian sampai hari pernikahan. Lima tahun lalu, ayah dan ibu Tintin meninggal dalam kecelakaan mobil, meninggalkannya dengan seorang adik laki-laki yang sekarang naik kelas 3 SMU. Tintin hancur, tetapi Agus menguatkannya…sampai sekarang. Selama itu, Agus sangat sopan dan tidak pernah memaksakan kehendak. Padahal Tintin tahu betapa Agus berhasrat, sama seperti laki-laki lainnya.

Tintin dikaruniai wajah yang cantik, putih, mata yang lebar dan bibir yang indah. Rambutnya hitam tergerai sebahu. Tubuhnya langsing, 165 cm, juga atletis karena sejak kecil Tintin senang berlari-lari, menjadi tim lari SMA, dan juga masuk tim atletik kampus. Dadanya membulat, tidak terlalu besar, tetapi bentuknya indah sekali. Semua laki-laki memandangnya dengan hasrat, tetapi Agus begitu baik menjaganya. Tidak pernah satu kalipun Agus melakukan hal yang menyimpang, tidak pernah meremas, walau kadang-kadang ia menyentuh buah dada yang ranum ini.

Namun sekarang, Tintin mendadak ingin, sangat ingin untuk disentuh. Selama pacaran, sebenarnya Tintin juga mendambakan saat romantis dimana ia bisa merasakan sentuhan lebih dari sekedar rabaan halus, tetapi semua itu ditahannya. Buat nanti, pikirnya. Hanya, sekarang tidak ada lagi ‘nanti’. Agus tidak akan hidup lebih lama lagi, bukan? Tidak ada lagi larangan. Tidak ada lagi batasan.

Tintin meraih tangan Agus, membawanya ke dada. Ia meremas dadanya melalui tangan Agus, yang kini mulai aktif dengan sendirinya. Ahhh… Tintin mendesah. Betapa nikmatnya! Ia merasakan, cinta yang tadinya hanya di angan-angan menjadi kenyataan, dalam remasan, dalam kehangatan. Dalam pelukan…

Mendadak, Agus berhenti.

“Entin, jangan… sudah, sudah… ini nggak benar…”
“Kenapa? Aku cinta sama kamu Gus.”
“Justru itu… gue sangat cinta sama kamu, Tin. Jangan berikan diri kamu sama orang yang mau mati.”
“Aku tidak peduli. Aku menginginkannya… Aku mau!”

Agus menggelengkan kepala. Seperti seorang yang lemas dan kehilangan semuanya. Padahal, tadi Agus begitu bergairah. Terangsang. Tintin masih bisa membaui aroma kelamin di udara. Masih merasakan kemaluan lelaki ini mengeras di balik celana.

“Gus, lihat…” kata Tintin, “aku bisa memilih, aku ini buat siapa… aku milih kamu, Gus.”

Agus terdiam. Mendadak, ia melihat kemarahan dalam suara Tintin. Ketegasan, sesuatu yang jarang didengarnya dari gadis yang lembut dan cantik ini.

Tintin berdiri di samping ranjang, tepat di bawah sorotan sinar matahari yang masuk dari langit-langit. Dengan tenang tapi pasti, Tintin melepaskan kancing blusnya satu demi satu. Lepas semua, Tintin meloloskan blus itu, jatuh ke lantai. Berikutnya ia melepaskan kaus singlet putih, memamerkan dadanya yang ditutup oleh BH krem muda, yang kelihatan sedikit kekecilan untuk dadanya yang membusung.

Kemudian, Tintin melepaskan kait celana jeansnya, melorotkan resletingnya, dan celana panjang biru itu terjatuh di bawah kakinya yang jenjang. Tintin maju dua langkah, mendekatkan dadanya ke arah wajah Agus. Ia melepaskan BH nya, tahu-tahu jatuh juga. Agus ternganga. Seumur hidup, 6 tahun pacaran dengan Tintin, inilah pertama kalinya ia memandang buah dada gadisnya. Keindahannya, melebihi gambar-gambar erotis yang ada di internet. Tetapi itu belum selesai.

Tintin membungkuk, melepaskan juga celana dalamnya dengan satu kali gerakan, menjatuhkan cd krem itu di bawah ranjang. Gadis itu kini bertelanjang bulat, nampak seperti berpendar karena seluruh tubuh itu begitu halus, begitu lembut, tanpa setitik noda. Nampak kencang, halus… sampai Agus tidak bisa menahan tangannya mengelus leher Tintin yang jenjang.

“Gus…aku memberikan ini kepada siapa aku mau berikan… aku memilih kamu, bukan orang lain. Aku terlalu cinta sama kamu… aku mau kamu mendapatkan aku, membawa aku sampai mati.

Dengan begini, aku tidak akan pernah lepas dari kamu Gus… aku memberi kamu kesempatan untuk membuat aku jadi wanita. Aku ingin kamu mengambilnya… boleh ya Gus?”

Kata-kata terakhir Tintin terdengar memelas. Agus tidak bisa menjawab, ia hanya mengangguk. Tangan Agus terjulur, ia memeluk gadis telanjang bertubuh indah itu, mendekapnya, menciumnya. Tintin merasakan getaran cinta mengguncangkan seluruh syarafnya.

“Ohhh… Agus… aku cinta sama kamu…”

Tangan Tintin seperti kesetanan membuka t-shirt Agus, melemparkan selimut yang menutupi kakinya, dan langsung menarik lepas celana pendek itu. Gadis ini memandang ke bawah, ke batang kemaluan yang merah mengeras. Tintin tersenyum memandang tongkat lelaki yang berurat itu. Tongkat yang akan menyatukannya, menghujam dalamnya. Tintin terpesona mengamati penis Agus.